Jumat, 25 Januari 2008

catatan buat Chairil


Derai-derai Cemara ~
Chairil Anwar

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Chairil Anwar
1949

orang asing jangan berdiri di ambang pintu
aku hidup depan pintu terbuka
di belakangmu jalan
batas entah di mana

kau datang terlampau senja
kisahmu bagiku hanya kenangan

PUISI, PEMBERONTAKAN, DAN SANG GURU

Dalam Dead Poet Society, disutradarai Peter Weir, tersebutlah seorang murid Welton Academy. Namanya Todd Anderson. Kakaknya, Jeffery Anderson, dulu juga sekolah di sana dan dinobatkan sebagai siswa terbaik. Dan kini, sang adik, diserahkan pula ke sekolah yang sama, dengan harapan-harapan berat yang dipikulkan padanya, agar dapat mengikuti jejak kakaknya itu.
Neil, yang juga belajar di sekolah yang sama, adalah anak seorang petinggi militer. Ayahnya itu ingin Neil kelak menjadi dokter. Neil, untuk mewujudkan harapan ayahnya, mengikuti berbagai kelompok belajar untuk mengejar pelajarannya.
Anak-anak dijadikan sebagai pemenuhan cita-cita orangtua. Pada masa itu anak-anak kehilangan banyak waktu mereka yang seharusnya digunakan untuk bermain, berkaul dengan sesamanya, dan berkembang dengan lingkungannya yang semestinya. Anak-anak tidak dibiarkan memilih dan menjadikan dirinya sendiri sesuai apa yang diinginkannya. Meminjam Goenawan, mereka tak akan pernah mengalami sebuah dunia pengalaman yang menggetarkan—yang mungkin tak akan membuat kita lebih pintar atau hebat.
Di sinilah peran seorang guru menjadi penting. Seorang pendidik jangan sampai menciptakan tekanan baru bagi anak-didiknya, yang memisahkan mereka dari “pengalaman yang menggetarkan” itu. Seorang pendidik semestinya menjadi pembebas dari tekanan-tekanan itu, memberikan semangat-semangat baru lewat pengalaman-pengalaman yang mengetarkan.
John Keating, sang guru dalam film tersebut mencoba membebaskan murid-muridnya dari begitu banyak tuntutan, belenggu-belengu, baik dari pihak orangtua maupun dari berbagai aturan-aturan yang diciptakan sekolah (di awal-awal film tersebut telah diteriakkan secara serempak bagaimana seharusnya siswa-siswa sekolah itu bersikap: Tradisi, kehormatan, disiplin, kesempurnaan).
Oleh Keating, puisi diambil sebagai media untuk melakukan perlawanan dan pembebasan. Maka penolakan pun dilangsungkan. Halaman Pelajaran Puisi, yang menggambakran puisi sebagai “matematika” itu, yang bisa dinilai dengan menggunakan rumus-rumus tertentu dirobek beramai-ramai. Dan puisi bebas, dan puisi tak lagi terbelenggu oleh aturan. Analisa puisi seharusnya menjadikan puisi lebih dekat dan sederhana, bukan sebaliknya: puisi menjadi hal yang ruwet dan serius seperti logaritma.
Menurut Freud, penolakan-penolakan intelektual bukanlah yang terburuk; orang bisa selalu mendapatkan yang terbaik dari penolakan itu. Mungkin saja benar, penolakan terhadap teori-teori puisi yang telah menjadi acuan bertahun-tahun di sekolah tersebut, yang dilakukan siswa-siswa, menumbuhkan semangat mencipta (puisi), tanpa dibebani teori-teori yang lebih sering mematahkan itu.
Ada sebuah esai yang ingin memisahkan pelajaran sastra dan bahasa. Barangkali memang, kedua hal itu sulit disatukan. Ketika sastra mencoba membebaskan dirinya dari kaidah, bahasa menyodorkan belenggu yang lain. Tapi bisakah hal itu dilakukan, jika sastra di tingkat selanjutnya juga punya kaidah-kaidahnya sendiri. A poem should be word lessAs the flight of birds, kata MacLeish.
Keating, sang guru, merobek halaman Pelajaran Puisi yang telah lama menjadi acuan itu. Ia menyuruh muridnya merobek, berontak dari aturan. Ia ingin muridnya merasakan bagaimana sesuatu (puisi) diciptakan. Yang menarik dari film ini bukanlah akhirnya yang tragis(tik). Seperti Chairil, arah tidak begitu penting, melainkan keberanian menjelajah. Chairil begitu kuat dan begitu bersemangat, tapi bagaimana metode mengajar sang guru. Murid-murid menyelami akar. Mereka kemudian tahu bagaimana kejadian dan penciptaan dihayati. Seperti seorang yang belajar menanam padi dengan langsung menyemaikannya ke tanah. Karena itulah mungkin sang guru memerintahkan pada murid-muridnya agar merobek halaman Pelajaran Puisi. Keating, dalam film itu, kelihatan ekstream akan metoda. Namun itu hanyalah satu bagian dari sebuah penolakan, penolakan terhadap belenggu. Bukankah untuk keluar dari kungkungan ada bermacam cara?
Goenawan Mohamad dalam sebuah edisi Catatan Pinggir menuturkan, puisi adalah persentuhan antara kita dan dunia luar, antara kita dan kegaiban yang besar, antara kita dan kita—sebuah kontak yang, dalam kata-kata seorang penyair, “sederhana, seperti nyanyi”. Kita mungkin sangat jarang mempertanyakan, apa sebenarnya sebuah sajak untuk diri kita, apa arti puisi.
Dalam pelajaran sastra di sekolah-sekolah hari ini, lebih sering peserta didik dituntut untuk tahu definisi-definisi puisi, bagian-bagiannya, jenis-jenisnya, dan sebagai-bagainya—hal itu tentu saja tak sederhana, tak seperti nyanyi. Tapi tak pernah diajarkan bagaimana menciptakan sendiri. Sehingganya kemudian pelajaran sastra menjadi penjara, menjadi menakutkan. Di lain hal, puisi maupun cabang sastra lainnya telah terlanjur dianggap tak penting. Ia kalah pamor dengan pelajaran matematika dan ilmu sains.
Padang, 2007

Kamis, 24 Januari 2008

bukan kalah (reuters)

“…”


Adakah kita sempat bikin rencana

atau sekedar mengeja hidup

dari aksara buta yang ditulis di tembok itu, kekasih?

Tapal yang sarat akan luka-luka peluru.

“Gaza”

Seperti TV yang terus menyala parau dalam tidurmu.

Menakik petak demi petak mimpi,

terhunus di titah-titah dan doa.

2006

"..."







a
ku tak pernah ingin menyerah
tapi masihkah berarti kalau kalah?
aku tahu saat untuk pasrah
meski jauh di dalam tanah.


Aku tak tau, tahun berapa puisi itu dibuat dan oleh siapa-aku telah melupakannya. semua tersimpan di rak bersama abu. tapi siapa yang peduli? siapa yang masih 'ambil pusing' dengan puisi di tengah kemelut hidup yang terus berlari ini? Afrizal Malna membahasakannya dengan Abad yang Berlari. Sedang kita masih terus saja merangkak. Menyusuri jalan yang tiap hari kita lalui tanpa bosan, tanpa sadar.